Senin, 05 November 2018

Program Kepemerintahan pada Masa Orde Baru (P4)

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Di masa Orde Baru, anda tentu masih ingat, setiap siswa sekolah atau mahasiswa baru wajib mengikuti “indoktrinasi” penanaman nilai-nilai Pancasila, sebagai syarat penting yang harus diikuti.
Indoktrinasi ideologi resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama.
Nazaruddin Sjamsuddin (1989) mengatakan, sosialisasi nilai-nilai Pancasila, seperti melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), merupakan "salah-satu cara terbaik untuk membuat masyarakat menyadari, mengetahui dan menghayati ideologi negara."
Demi stabilitas politik, utamanya untuk menghadapi bahaya laten Komunisme, indoktrinasi Pancasila ini didahului kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol.

Demi stabilitas politik, utamanya untuk menghadapi bahaya laten Komunisme, indoktrinasi Pancasila ini didahului kebijakan penerapan azas tunggal Pancasila di semua organisasi masyarakat dan parpol
Klaim seperti ini terus dihidupkan, sehingga orang-orang atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah dianggap anti atau “merongrong” Pancasila. .
Di luar kebijakan dan konsep massa mengambang, penerapan azas tunggal, Dwi Fungsi ABRI, hingga penataran P4, tentu saja ada beberapa istilah lainnya yang diidentikan dengan Orde Baru.
Apa itu? Sebutlah istilah: modernisasi, pertumbuhan ekonomi, demi pembangunan, ekstrim kanan-kiri, gerombolan pengacau keamanan (GPK), atau anti Pancasila.
Namun semenjak reformasi 1998 digulirkan, istilah-istilah Orde Baru seperti menjadi barang usang, dan terkadang menjadi bahan olok-olok, walaupun ada pula kebijakan seperti Keluarga Berencana (KB) dan Posyandu, yang dianggap berhasil dan kini akan dihidupkan lagi.

Dwi Fungsi ABRI
Setelah reformasi 1998, konsep dan implementasi Dwi Fungsi ABRI dikritik habis-habisan dan akhirnya “dicabut”.
Padahal, di masa Orde Baru, konsep ini sepenuhnya dilaksanakan, walaupun implementasinya dinilai kelewatan ketimbang konsep awalnya.
Sebutlah: hampir semua pejabat daerah dikuasai oleh perwira TNI, adanya kursi TNI di DPR hingga di kursi menteri, serta di perusahaan-perusahaan. 
Padahal, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, yang juga dikenal sebagai konseptor “Dwi Fungsi ABRI”, konsep “jalan tengah ABRI” itu intinya “peran ABRI... sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik)”.

“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, dalam buku Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai, perjalanan hidup AH Nasution (1998).

Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan.
Karena itulah, dia mengaku kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain “banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan.
Baginya, penempatan itu tidak tercakup dalam pemahaman Dwifungsi.
Lebih lanjut, Nasution mengatakan, konsep Dwifungsi sekarang (saat Orde Baru) telah bergeser.
Menurut mantan Gubernur Lembahanas Letjen (purnawirawan) Hasnan Habib, dalam wawancara dengan harian NUSA (20 September 1999), pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI dalam perjalanannya mengalami “pelencengan”.
“Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan,” kata Hasnan Habib, saat itu.

Dampak positif Dwi Fungsi ABRI:

1. Kesejahteraan prajurit ABRI meningkat
Pada masa Orde Baru, ABRI mngendalikan berbagai yayasan dan perusahaan. Penghasilan dari yayasan dan perusahaan ini disalurkan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan prajurit ABRI. Pada masa Orde Baru, gaji pegawai pemerintah, termasuk gaji anggota ABRI sangat rendah, sehingga mereka harus mencari pendapatan tambahan.

2. Para prajurit ABRI ikut berkontribusi dalam pembangunan
Para prajurit dimobilisasi dalam kegiatan seperti ABRI Masuk Desa, untuk melakukan kegiatan pembangunan seperti perbaikan jalan hingga mendirikan sarana kesehatan.

Dampak negatif Dwi Fungsi ABRI:

1. Terjadi dominasi oleh ABRI terhadap masyarakat sipil
Pada masa Orde Baru, akibat dominasi ABRI, sangat banyak jabatan penting di Indonesia, seperti walikota, bupati dan gubernur iisi oleh para prajurit maupun purnawirawan ABRI. Akibatnya, peluang dan aspirasi politis masyarakat sipil menjadi terhambat.

2. ABRI menjadi alat politik praktis
Dengan Dwi Fungsi ABRI, di MPR dan DPR terdapat anggota dewan dan majlis yang ditunjuk oleh ABRI. Bersama dengan para kepala daerah yang berasal dari ABRI, mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Presiden Soeharto. Akibatnya, setelah pemerintahan Soeharto tumbang, keberadaan Fraksi ABRI dan anggota MPR/DPR dari ABRI dihapuskan.


#Soeharto #ABRI #Prajurit #2018 #Sejarah #DwiFungsiABRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CARA SETTING ACCESS POINT